Thursday, December 2, 2010

IN REPAIR

‘IN REPAIR’

The Monoprint Solo Exhibition by Ariswan Adhitama

Date: 0312 December 2010

Time: 10:00 – 21:00

Venue: Bentara Budaya Yogyakarta

Jl. Suroto No.2, Kotabaru, Yogyakarta, Indonesia

Srisasanti Syndicate, in collaboration with Bentara Budaya Yogyakarta, present a Monoprint Solo Exhibition, entitled “In Repair”, featuring graphic works from Ariswan Adhitama, a young artist educated from the Indonesia Institute of Arts (ISI) Yogyakarta. Ariswan Adhitama a.k.a Nyameng, will feature approximately 11 of his monoprint artworks, plus with the negative of the print works. The exhibition is curated by Fery Oktanio. And added by the interesting writings of M. Dwi Marianto.

The Gardener, Ariswan Adhitama 2010, Monoprint on Canvas, 180x140 cm

About Ariswan

Ariswan Adhitama is in the middle of a crucial point in his life. He obviously did not want to go back into the past. However, this graduate of Indonesian Arts Institute (ISI) Yogyakarta class of 2005, knows how to get rid of the remnants of memories and grudges that are buried deep in his heart. He was able to pass through a heavy and hard life that he lived a few years earlier and the belief that sometimes destroyed by the uncertain road of fate. He was even able to pass through it with a big victory. Ariswan would not ever think that the experience of changing schools, changing jobs, led him to become a rich man in heart and knowledge, and able to face the challenges ahead. Ariswan able to get through college, able to work with high confidence and perseverance, and reach achievements that may not be easily achieved by his peers. There is no coincidence in life and living. Ariswan proves that his resistance and hard work against a tough life, able to produce results that could be worth it.

In Repair Theme

In Repair or under construction, is the theme of Ariswan’s exhibition this time. Why In Repair? Since the story of life which want to be told by Ariswan is a dynamic process of his life against fate, and how all that meanings have become moments which define his next steps. Ariswan is tracing his life from the past to the point where he is now. In Repair, is his belief that the journey is not yet over, and many things still need repairing. His resistance which he first done to his hard life is manifested into futuristic imaginations where the idea of Super Human clearly surfaced. Super Human is his unconscious idea that emerged from his desire to always be strong, tough, and has the steel mentality to face various problems in life. Super Human is also his message of the limitation and the inability of human to rule and determine their own path of life.

Ariswan’s Robots

Meanwhile, Ariswan chooses the form of robot as his visual diction, as well as wants to show openly the scratch pattern of cutting knife in the complexity of the structural robotic body. These robots have two functions in Ariswan’s creative patterns this time. First, robots are a way for him to show how the meaning of hard, heavy and difficult becomes possible in a visual presentation and can be understood easily. Second, these robots show the role played by Ariswan in the overall visual language which told a story about him. These robots are a metaphor of what he faces, his anxiety, and what makes him strong, confident and trusting. These robots sometimes become his own self, sometimes become something that he faces, and sometimes is a representation of our humanity. Robots, where the idea of Super Human incarnates in Ariswan’s desire as a part of his attempt to survive and fight.

Grow in Limitedness, Ariswan Adhitama 2010, Monoprint on Canvas, 200x150 cm

But a robot is still a robot. Robot has unnatural pride. On the other hand, submission is the main memory of the robot as an object of creation. Ariswan as a creature of creation, also has a natural tendency to bent down to the power greater than him. He is still not capable to fight against the road of fate to occur. His robots just wanted to show his struggle to fight back and take the core of all things. Ariswan, as well as his robots, are going through the process of understanding based on step by step, moment by moment, and they realize that they just got half way. They need not only time and tireless resistance. They still need, and still under construction.

Press Release by Fery Oktanio. Curator

More information:

info@srisasanti.com, srisasanti_gallery@yahoo.co.uk

Tuesday, October 26, 2010

PRESS RELEASE: MELANCHOLIC EGO IN COLORFUL SONG OF AGONY

PRESS RELEASE

VISUAL ART SOLO EXHIBITION

MELANCHOLIC EGO IN THE COLORFUL SONG OF AGONY

Prihatmoko Catur

10 November10 December 2010

Srisasanti Arthouse

Jl. Kemang Raya no. 81, Jakarta Selatan, 12730 Indonesia


Kami – Srisasanti Arthouse kembali mempersembahkan sebuah pameran tunggal bertajuk “Melancholic Ego in the Colorful Song of Agony”, menampilkan karya seni dua dimensi dari Prihatmoko Catur, seorang perupa muda lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Prihatmoko Catur atau akrab dipanggil Moki, akan menampilkan sekitar 15 karya lukisnya yang menarik. Pameran ini dikuratori oleh Fery Oktanio.


DON'T BLAME YOUR DAUGHTER, 2010, Acrylic on Canvas, 200x150 cm

Tentang Moki

Prihatmoko Catur alias Moki, dilahirkan di Wonosari, ibukota dari kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Sejak kecil Moki sudah menyukai musik. Bakat dan minatnya ini diwarisi dari bapaknya yang seorang penabuh gamelan dan ibunya yang penyanyi keroncong. Moki mulai intens bermusik saat bertemu Ade, dan teman-teman lainnya di masa Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta. Namun di kala itu juga minatnya yang lain, yaitu seni rupa, mulai terbentuk dan tertata. Diperkuat pula ketika Moki kemudian kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, program studi seni grafis. Pada akhirnya, kedua minatnya tersebut, dikerjakannya secara bersamaan, dan memperoleh pencapaian yang sama baiknya. Moki pun menjadi seorang musisi sekaligus perupa.


Tema “Melancholic Ego in the Colorful Song of Agony

Tema ini mengacu kepada apa yang akan ditampilkan Moki dalam karya-karyanya pada pameran tunggal kali ini. Moki membawa masuk minatnya terhadap musik, terutama yang bernuansa melankolis, dengan memilih beberapa lagu kesukaannya, membuat konsep baru dari lirik-lirik lagu tersebut, dan melukiskannya ke atas kanvas. Selain itu, Moki pun mengikut-sertakan wajah sang musisi yang lagunya dia pinjam, untuk menjadi tokoh utama dalam visual lukisannya. Wajah-wajah para musisi tersebut tidak dilukisnya secara realis, namun disablonnya ke atas kanvas, dimana wajah-wajah fotografis tersebut didapatkannya dengan mengunduhnya melalui internet.

Moki mengakui bahwa jiwanya lebih menyukai suasana-suasana yang murung, sunyi, sepi, serta putus asa. Dulu semasa SMA, perasaan depresinya terbentuk karena berbagai persoalan khas remaja yang tengah puber, dan beranjak dewasa. Namun seiring usia dan pengalaman hidup, depresinya sudah sepenuhnya dapat dikontrol, dapat dibangkitkan kapan saja diinginkan, dan tidak lagi terbatas oleh stimulan-stimulan aktual yang muncul dari luar dirinya. Artinya, Moki mampu menciptakan situasi melankolis-nya sendiri kapanpun dia mau hanya dengan memutar ulang lagu sedih kesukaannya, “mencari” dan “menemukan” peristiwa-peristiwa yang menyentuh hati, atau menonton film-film yang mampu membuatnya berpikir, merenung, dan sentimentil. Dengan kata lain, melankolis Moki telah berubah menjadi ego yang tertanam dalam kesadaran dan bisa dibangkitkan kapanpun diperlukan. Ego melankolis inilah yang melatari semangat serta kreativitas pembuatan karya-karya Moki kali ini.


Musikalisasi Visual

Nuansa murung dan sedih yang diinginkan Moki, sengaja diciptakannya dari musik-musik kesukaannya. Ditranslasinya menjadi sebuah konsep visual, kemudian dilukiskannya ke atas kanvas. Lukisan tersebut bisa kembali menjadi aktual ketika kita menikmatinya sambil mendengarkan lagu yang diacu sebelumnya oleh lukisan itu. Metode yang kemudian saya namakan Musikalisasi Visual.

Moki mengadaptasi lirik lagu-lagu tersebut menjadi sebuah narasi mandiri, yang memberinya kemungkinan untuk divisualisasikan. Kemudian sebagai penanda bagi pemirsa untuk mengenali dari mana sebenarnya lagu tersebut berasal, maka Moki menjadikan paralead singer grup musik yang lagu-lagunya diambil; sebagai “tokoh utama” bagi narasi visual Moki di atas kanvas. Moki memberi mereka peran dalam lukisannya, berdasarkan teks dalam konsep yang dibuatnya dari lirik lagu, dan menjadikannya makna baru namun tetap mengacu kepada lagu itu sendiri. Itu tahap pertama.

Tahap kedua, lukisan Moki harus dikembalikan kepada lagu-lagu yang diacunya, dimana proses penikmatannya harus dilakukan bersama-sama dengan lagu-lagu tersebut. Dari proses penikmatan yang bersamaan inilah aura dari apa yang ingin Moki sampaikan, bisa dirasakan, tersampaikan, dan menemukan muaranya. Lagu-lagu tersebut seakan memperkuat tampilan visual yang dibuat Moki, memberinya penekanan dan kesan yang sebelumnya tidak didapatkan bila tidak ada musik sebagai pendampingnya. Moki ingin membagi perasaan melankolis yang dirasakannya saat mendengar lagu-lagu tersebut kepada pemirsa, membuatnya menjadi konsep baru, memvisualisasikannya ke atas kanvas, dan kembali menikmatinya bersama lagu tersebut. Suatu usaha yang berani dan menarik di dalam menunjukkan sinergi luar biasa dari intuisi musikal yang dimiliki Moki dengan kemampuan teknis seni rupanya. Sinergi yang menghasilkan metode unik yang berbeda dari berbagai proses penciptaan karya seni rupa yang selama ini kita kenal.


Fery Oktanio

Kurator

Monday, October 25, 2010

INVITATION: THE MELANCHOLIC EGO IN THE COLORFUL SONG OF AGONY

SRISASANTI SYNDICATE proudly presents:

Event: 'MELANCHOLIC EGO IN THE COLORFUL SONG OF AGONY'
The Solo Exhibition of PRIHATMOKO CATUR

Date: 10 November - 10 December 2010

Venue: Srisasanti Arthouse
Jl. Kemang Raya No. 81, Jakarta

Curator: Fery Oktanio

Entertainment: TOR